
(Oleh: Sandi Wanadri)
Opini,Medialibas.com – Di sebuah negeri yang katanya menjunjung tinggi demokrasi dan kebebasan berpendapat, semakin banyak orang memilih diam. Bukan karena tak tahu atau tak peduli. Tapi karena tahu bahwa tahu terlalu banyak bisa membahayakan. Di negeri ini, kebodohan bukan aib. Justru bisa menjadi tameng paling aman untuk bertahan hidup. Fenomena ini bukan isapan jempol belaka.
Lihatlah apa yang terjadi pada mereka yang berani bicara, yang berusaha menunjukkan arah saat bangsa ini seperti kehilangan kompas. Aktivis yang dulu dielu-elukan, kini menghilang dalam sunyi. Birokrat jujur yang mencoba melawan arus korupsi, justru dipindahkan atau disingkirkan secara perlahan. Wartawan yang menulis kebenaran, diintimidasi. Akademisi kritis, dibungkam dengan cara halus tapi menyakitkan: pengucilan, pemotongan dana, hingga stigmatisasi.
Sementara itu, mereka yang memilih “kebodohan” menunduk, patuh, dan tidak banyak bertanya melenggang dengan aman. Bahkan kadang naik pangkat. Diangkat jadi pejabat. Diberi proyek. Mereka tahu kapan harus diam, tahu kapan harus tertawa meski dalam hati menangis.
Di lingkungan birokrasi, fenomena ini terasa sangat nyata. Banyak pejabat yang memilih untuk tidak “terlalu pintar”. Bukan karena tidak mampu, tapi karena sadar bahwa ketahuan pintar bisa berujung pada pengawasan berlebihan.
“Kalau kita terlalu vokal, terlalu inisiatif, malah jadi sorotan. Akhirnya dicari-cari kesalahan,” ujar seorang ASN senior yang meminta namanya disamarkan. “Jadi ya pura-pura aja nggak tahu. Supaya aman.”
Fenomena “berpura-pura bodoh” ini bahkan telah menjadi budaya tidak tertulis di banyak institusi. Orang-orang cerdas mulai belajar menyembunyikan kecerdasannya. Berbicara seperlunya. Tidak menyarankan perubahan. Tidak mengkritik sistem. Karena mereka tahu, di negeri ini, sistem tidak suka diperbaiki ia lebih suka dipatuhi dalam kebusukannya.
Bahkan di dunia pendidikan, tempat di mana kecerdasan seharusnya tumbuh, atmosfer ketakutan mulai terasa. Beberapa guru dan dosen mulai enggan menyampaikan materi yang bisa memantik diskusi kritis. Mahasiswa yang vokal dianggap pembangkang, bukan pemikir. “Saya pernah dimarahi karena membiarkan mahasiswa saya berdiskusi soal keadilan sosial dan HAM. Katanya terlalu sensitif,” ujar seorang dosen universitas negeri ternama.
Apakah ini berarti kita harus menyerah? Tidak. Tapi kita harus mengakui realitas: bahwa di negeri ini, cerdas bisa berbahaya. Pintar bisa membuatmu jadi target. Dan karena itulah, diam dan bodoh atau berpura-pura demikian menjadi pilihan rasional bagi banyak orang.
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Dr. R. Indrayani, menyebut fenomena ini sebagai “strategi bertahan dalam struktur represif.” Menurutnya, ketika sistem menindas, masyarakat akan mencari cara untuk selamat.
“Di banyak rezim otoriter, fenomena seperti ini sangat umum. Orang-orang tidak kehilangan akal. Mereka menyamarkan kecerdasan mereka demi bertahan hidup,” ujarnya.
Namun, sampai kapan strategi ini bisa dijalankan? Apakah kebodohan yang disengaja bisa menjadi solusi jangka panjang? Atau justru membiarkan sistem semakin rusak karena tidak ada yang berani mengoreksi?
Seorang aktivis muda yang pernah ditangkap karena mengkritik kebijakan publik berkata, “Kita boleh pura-pura bodoh, tapi jangan benar-benar lupa siapa kita. Suatu hari nanti, kita harus kembali bicara.”
Dan mungkin, di tengah keheningan yang menyesakkan ini, masih ada harapan: bahwa akan muncul generasi yang memilih melawan meski tahu risikonya. Generasi yang memilih menjadi terang dalam gelap, meski tahu cahaya bisa membuatnya terlihat, dan mungkin dihancurkan.