
Garut,Medialibas.com – Seratus hari masa kerja Bupati dan Wakil Bupati Garut yang baru, mendapat kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat. Salah satu suara paling lantang datang dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Kabupaten Garut yang menyebut periode awal kepemimpinan ini lebih banyak diwarnai pencitraan dibandingkan kerja nyata.
Dalam diskusi publik yang digelar di kawasan Tarogong, Minggu (15/06/2025), Ketua Pimkot FPPI Garut, Feri Nurdiansyah, menyampaikan kritik keras terhadap minimnya capaian konkret yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
“Apa yang kita lihat selama 100 hari ini adalah seremoni dan narasi, bukan aksi nyata. Rakyat butuh solusi, bukan sekadar simbol atau foto-foto yang penuh harapan kosong,” tegas Feri.
Kritik terhadap Gaya Kepemimpinan yang Sloganistis
FPPI menilai pendekatan yang digunakan oleh pimpinan daerah saat ini masih berkutat pada aspek simbolik. Feri mencontohkan berbagai program yang diluncurkan dalam kemasan acara besar tanpa kejelasan implementasi teknis.
“Kalau hanya menciptakan slogan, itu pekerjaan agensi periklanan. Tapi membenahi Garut memerlukan kerja keras, bukan sekadar visualisasi di baliho atau media sosial,” kritiknya.
FPPI juga menyoroti kegagalan pemerintah daerah menjawab isu-isu pokok seperti infrastruktur rusak, pendidikan yang tidak merata, ketimpangan layanan kesehatan, hingga kurangnya peluang kerja bagi pemuda.
“Petani masih kesulitan pupuk, pemuda kehilangan arah, dan sekolah-sekolah banyak yang rusak. Apa kabar janji perubahan yang dulu disampaikan?” sindir Feri.
Ruang Partisipasi yang Mengecil
FPPI menyoroti minimnya keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan. Menurut Feri, demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh jika masyarakat dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan.
“Rakyat bukan penonton, mereka aktor utama dalam pembangunan. Kalau kebijakan lahir tanpa mendengar suara rakyat, maka itu bukan demokrasi, tapi dekrit diam-diam,” katanya.
FPPI juga meminta pemerintah daerah membuka ruang dialog dengan organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan tokoh masyarakat sebagai bagian dari perwujudan pemerintahan yang inklusif dan akuntabel.
Seruan kepada DPRD: Jangan Jadi Penonton
Tak hanya eksekutif, FPPI juga menyorot DPRD Garut yang dinilai pasif dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Feri menegaskan bahwa parlemen daerah tidak boleh menjadi pelengkap drama kekuasaan.
“Kalau DPRD hanya ikut tepuk tangan, lalu siapa yang mengawal kepentingan rakyat? Jangan sampai legislatif kehilangan wibawa karena terlalu nyaman,” ucap Feri.
FPPI berkomitmen terus mengawasi kinerja pemerintah daerah, baik melalui jalur advokasi maupun aksi-aksi jalanan, demi memastikan suara rakyat tidak tenggelam dalam euforia kekuasaan.
Tuntutan Nyata di Balik 100 Hari
Pernyataan FPPI menjadi bagian dari evaluasi awal yang semakin menggema di tengah masyarakat. Kritik ini menandai pentingnya langkah cepat dan konkret dari pemerintah untuk menjawab ekspektasi rakyat.
Hingga laporan ini diterbitkan, belum ada respons resmi dari pihak Bupati maupun Wakil Bupati Garut atas kritik tersebut. Namun tekanan publik agar pemerintah tidak hanya fokus pada pencitraan semakin menguat.
“Kalau suara kami tak didengar di ruang rapat, maka jalanan akan kami gunakan untuk bicara. Karena demokrasi tak boleh kalah oleh panggung retorika,” pungkas Feri Nurdiansyah. (A1)