
Garut,Medialibas.com – Ungkapan mengejutkan datang dari Bupati Garut, Syakur Amin, yang menyatakan bahwa pajak atas aktivitas galian C meliputi pengambilan pasir dan batuan bukanlah hak Pemerintah Kabupaten Garut, melainkan sepenuhnya milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat. “Garut hanya kebagian rezeki nomplok dari Dana Bagi Hasil (DBH),” ungkapnya dalam sebuah forum terbuka.
Namun, pernyataan ini langsung menuai sorotan dari berbagai kalangan. Pasalnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak mineral bukan logam dan batuan (galian C) justru masuk dalam ranah pajak kabupaten/kota. Artinya, klaim Bupati Syakur dinilai menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku.
Fakta Hukum: Pajak Galian C Adalah Hak Kabupaten
Pasal 2 ayat (2) huruf h dan Pasal 42 UU 28/2009 secara tegas mengatur bahwa pengenaan pajak atas pengambilan mineral bukan logam dan batuan merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Bahkan, Pasal 43 ayat (1) menegaskan bahwa penetapan tarif pajak dilakukan oleh kabupaten/kota, bukan provinsi.
Artinya, bukan hanya soal hak pengelolaan, tapi juga kewajiban untuk menarik dan mengawasi pemungutan pajak dari aktivitas galian C menjadi tanggung jawab langsung pemerintah kabupaten.
Mengapa Garut Hanya Dapat “Sedikit”?
Jika memang ini adalah kewenangan penuh daerah, lalu mengapa Garut hanya memperoleh “bagian kecil” dari sektor ini?
Pengamat kebijakan publik dan lingkungan, Tedi Sutardi, menyebut pernyataan Bupati Syakur berpotensi membelokkan fokus dari akar persoalan sebenarnya.
“Masalahnya bukan pada bagi hasil dari provinsi, tapi pada buruknya tata kelola dan lemahnya pengawasan di tingkat kabupaten,” ujarnya. Minggu, (15/06/2025).
Dengan kata lain, kebocoran potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor galian C adalah akibat ketidakefisienan internal, bukan karena sistem bagi hasil provinsi yang timpang.
Kerusakan Lingkungan: Tambang Tanpa Kontrol
Selain kerugian finansial, dampak lain yang lebih serius adalah kerusakan lingkungan. Banyak aktivitas tambang di Garut berlangsung tanpa izin atau pengawasan memadai, melanggar UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ironisnya, kewenangan untuk menerbitkan izin lingkungan dan melakukan pengawasan melekat juga berada di tangan pemerintah kabupaten. Ketika kedua fungsi ini lumpuh, bukan hanya PAD yang hilang, tetapi juga masa depan lingkungan hidup dan kualitas hidup masyarakat setempat yang dipertaruhkan.
Membangun Ulang Tata Kelola Pajak dan Lingkungan
Kondisi ini menjadi sinyal kuat bahwa Pemerintah Kabupaten Garut perlu segera mengambil langkah konkret, antara lain:
Klarifikasi dan Edukasi Internal: Memastikan bahwa semua pemangku kebijakan memahami dan mematuhi regulasi yang berlaku, terutama UU 28/2009.
Reformasi Sistem Pajak: Optimalisasi pemungutan pajak mineral bukan logam dan batuan dengan sistem yang transparan dan berbasis pengawasan digital.
Penegakan Aturan Lingkungan:
Menghentikan praktik galian ilegal dan memperketat pengawasan serta pemberian izin tambang sesuai kaidah lingkungan hidup.
Penguatan Regulasi Daerah: Membentuk Peraturan Daerah (Perda) yang menyesuaikan tata kelola pajak galian C dengan prinsip akuntabilitas dan keberlanjutan.
Catatan Akhir: Jangan Salah Tafsir, Jangan Salah Langkah
Pernyataan publik dari seorang kepala daerah bukan sekadar opini pribadi ia menjadi arah kebijakan dan memengaruhi banyak keputusan teknis di lapangan.
Ketika Bupati Garut menyebut pajak galian C sebagai “rezeki nomplok” dari provinsi, publik berhak bertanya: apakah itu bentuk ketidaktahuan, kelalaian, atau pengalihan tanggung jawab?
Yang pasti, dalam hal ini masyarakat Garut berhak mendapat penjelasan yang jujur dan langkah perbaikan yang nyata. Karena bukan hanya soal uang tetapi juga soal kedaulatan daerah, keadilan fiskal, dan masa depan lingkungan hidup. (AA)