
Garut, Medialibas.com – Derita ekologis di Kabupaten Garut kian hari kian nyata. Hujan lebat yang mengguyur kawasan hulu selama beberapa hari terakhir memicu rentetan bencana alam: banjir bandang, tanah longsor, dan meluapnya Sungai Cimanuk – nadi air utama yang membelah Garut. Kawasan padat penduduk seperti Haurpanggung, Jangkurang, dan Jalur Tasik-Garut terdampak parah. Sebagian jalan amblas, rumah-rumah tergenang, dan warga terpaksa mengungsi dalam ketidakpastian.
Namun di balik curah hujan ekstrem, suara peringatan datang dari Arul, seorang pemerhati lingkungan hidup di Garut. Ia menolak menyebut ini sebagai bencana alam murni. “Ini bukan takdir alam. Ini akibat langsung dari pengkhianatan kita terhadap ekosistem!” tegasnya.
Bencana yang Sudah Diperingatkan Bertahun-Tahun
Menurut Arul, tanda-tanda kerusakan sudah terlihat jelas sejak satu dekade lalu: hutan lindung makin tergerus, bukit dibuka untuk vila dan pertambangan, dan kawasan sempadan sungai dipadati bangunan tanpa izin yang merusak struktur alami daerah aliran sungai (DAS).
“Fungsi kawasan sudah rusak total. Bukit yang dulu menahan air, kini gundul. Tanah yang dulu menyerap air, kini tertutup semen. Sungai yang dulu mengalir tenang, kini berubah jadi arus maut.” – Arul (28/6/2025)
Alih Fungsi Lahan: Kejahatan Lingkungan yang Dilegalkan
Kabupaten Garut dikenal secara nasional sebagai kawasan konservasi penting di Jawa Barat. Wilayah ini memiliki potensi ekosistem pegunungan, hutan lindung, dan DAS strategis seperti Cimanuk, Ciwulan, dan Cilaki. Sayangnya, status konservasi ini hanya tercatat di atas kertas.
Alih fungsi kawasan yang semula hutan menjadi perumahan, industri, bahkan tempat wisata tanpa studi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang ketat, memperparah risiko bencana. Apalagi, banyak pembangunan dilakukan di zona rawan longsor dan banjir, melanggar tata ruang daerah (RTRW).
“Yang menyedihkan, kadang izin keluar bukan karena kebutuhan rakyat, tapi karena tekanan investor. Dan di saat rakyat jadi korban, pemerintah pura-pura tak tahu,” kata Arul dengan nada getir.
Penegakan Hukum: Di Mana PPLH, PPNS, dan Kejaksaan Lingkungan?
Pemerintah Kabupaten Garut dituntut untuk tidak lagi sekadar reaktif, hanya bergerak setelah korban berjatuhan. Arul mendesak agar hukum lingkungan ditegakkan secara sistemik dan menyeluruh.
1. Aktifkan peran PPLH dan PPNS
Penyidik Pegawai Lingkungan Hidup (PPLH) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang lingkungan telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009. Namun hingga kini, kinerjanya nyaris tak terdengar. Mereka seharusnya menjadi garda depan dalam menindak pelanggaran perizinan, pembabatan hutan, hingga pencemaran sungai.
2. Terapkan sanksi pidana secara konsisten
Berdasarkan Pasal 98–100 UU No. 32/2009, pelaku perusakan lingkungan dapat dijerat hukuman 3 hingga 10 tahun penjara dan denda miliaran rupiah. Bahkan dalam konteks pelanggaran berat, dapat dikenakan pidana korporasi, di mana bukan hanya pelaku individu, tapi perusahaan bisa dikenai sanksi.
3. Jadikan Konstitusi sebagai dasar moral hukum
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ini bukan retorika kosong, tapi hak konstitusional rakyat yang wajib dijamin oleh negara.
“Jika aparat hukum diam, mereka bukan hanya melanggar undang-undang, tapi juga mengkhianati konstitusi bangsa,” tambah Arul.
Seruan untuk Warga di Bantaran Cimanuk: Bangkitkan Kesadaran Ekologis
Bencana ini bukan hanya urusan pemerintah. Arul juga menyerukan kepada masyarakat yang tinggal di sepanjang DAS Cimanuk – baik di hulu seperti Cikajang dan Cisurupan, tengah seperti Garut Kota, hingga hilir seperti Tarogong dan Kadungora – untuk segera membentuk komunitas tanggap bencana berbasis lingkungan.
Langkah yang bisa dilakukan masyarakat:
- Membuat sistem peringatan dini berbasis warga (early warning system).
- Menyusun rencana evakuasi cepat untuk wilayah padat penduduk.
- Mendorong audit ulang izin pembangunan di kawasan rawan.
- Melaporkan segala bentuk pelanggaran lingkungan kepada DLH, DPRD, atau LSM lingkungan.
Bencana Adalah Cermin: Saatnya Kita Bercermin
Banjir dan longsor di Garut hari ini adalah refleksi dari kelalaian bersama. Ini bukan bencana yang tiba-tiba datang, melainkan hasil akumulasi dari pengabaian terhadap aturan, pengkhianatan terhadap alam, dan pembiaran terhadap kerusakan yang nyata di depan mata.
“Jika kita tak mau berubah, maka jangan salahkan jika anak cucu kita nanti hidup di tanah tandus yang penuh reruntuhan, bukan hutan dan sungai,” tutup Arul. (AA)