
Oplus_0
Garut,Medialibas.com – Hujan deras yang mengguyur wilayah Kabupaten Garut sejak Jumat malam menyebabkan meluapnya Sungai Cimanuk dan merendam sejumlah kawasan pemukiman warga. Salah satu titik terdampak terparah adalah Kampung Sudika, Desa Haurpanggung, Kecamatan Tarogong Kidul, di mana air bah meluas hingga ke empat Rukun Warga (RW). Akibatnya, puluhan kepala keluarga harus dievakuasi secara darurat ke posko sementara, mengandalkan bantuan ala kadarnya untuk bertahan hidup.
Di tengah situasi darurat ini, kritik keras datang dari Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS) Kabupaten Garut, yang menilai bahwa bencana ini merupakan akumulasi dari kelalaian sistemik dan pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun aparat penegak hukum (APH) terhadap pelanggaran lingkungan di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk.
Ketua LIBAS, Tedi Sutardi, menyebutkan bahwa banjir yang terjadi bukanlah bencana alam murni, melainkan sebuah “bencana buatan” yang dibiarkan tumbuh akibat lemahnya tata kelola dan pengawasan terhadap kawasan rawan bencana.
“Ini bukan banjir dadakan. Ini akibat dari pembiaran bertahun-tahun. Kami sudah berulang kali menyuarakan kerusakan lingkungan, mulai dari pembalakan liar, pengalihfungsian lahan resapan, hingga pembangunan liar di bantaran sungai. Tapi suara kami hanya dianggap angin lalu,” tegas Tedi dalam wawancara di lokasi tenda pengungsian, Sabtu (28/06/2025).
Menurut Tedi, LIBAS selama ini telah aktif melakukan pemantauan lapangan dan melaporkan sejumlah pelanggaran yang dilakukan baik oleh oknum warga maupun perusahaan yang beroperasi di sekitar Sub DAS Cimanuk. Namun, upaya tersebut tidak pernah ditindaklanjuti secara serius oleh aparat maupun pemerintah daerah.
“Percuma kami teriak lantang kalau tidak ada kepedulian. Kalau pemerintah dan penegak hukum hanya menunggu laporan tanpa ada inisiatif turun ke lapangan, maka bencana akan jadi rutinitas tahunan. Ini bukan soal kurang dana, ini soal tidak adanya keberpihakan kepada keselamatan rakyat,” lanjutnya.
LIBAS juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap kebijakan reaktif pemerintah yang hanya fokus pada distribusi bantuan pasca bencana, tanpa menyentuh akar masalah berupa perusakan lingkungan, lemahnya penegakan hukum, serta buruknya penataan ruang di kawasan rawan bencana.
“Kalau setiap tahun hanya sibuk bagi-bagi mie instan, air mineral, dan tikar, tanpa upaya reboisasi, rehabilitasi DAS, dan penertiban izin bangunan, itu sama saja pemerintah membiarkan rakyat hidup dalam lingkaran bencana,” tambah Tedi.
Sebagai bentuk tanggung jawab moral dan sosial, LIBAS menyatakan akan segera membentuk Tim Investigasi Lintas Sektor yang melibatkan akademisi, aktivis lingkungan, tokoh masyarakat, dan jurnalis, untuk melakukan audit independen atas kondisi DAS Cimanuk dan pengelolaan lingkungan hidup di sekitarnya.
Tedi juga meminta agar aparat penegak hukum lebih berani menindak tegas pelaku pelanggaran lingkungan, terutama mereka yang selama ini berlindung di balik kekuasaan dan kekebalan hukum.
“Sudah waktunya hukum berpihak kepada rakyat, bukan kepada pengusaha yang merusak hutan. Sudah waktunya negara turun tangan dengan serius. Jangan tunggu korban jiwa baru bertindak,” katanya.
Di sisi lain, warga Kampung Sudika yang tengah berada di tenda pengungsian hanya bisa berharap agar pemerintah tidak sekadar hadir saat kamera menyala, tetapi benar-benar merancang langkah nyata untuk mencegah bencana serupa di masa depan.
“Kami bukan cuma butuh logistik darurat. Kami butuh perlindungan. Rumah kami rusak, anak-anak kami tidak bisa sekolah, setiap hujan turun kami selalu takut. Sampai kapan begini?” ujar seorang warga yang menolak disebutkan namanya.
Kondisi pengungsian sendiri cukup memprihatinkan. Fasilitas MCK terbatas, persediaan makanan hanya cukup untuk dua hingga tiga hari, dan tidak ada tenaga medis tetap yang siaga di posko. Sejumlah anak-anak terlihat terserang flu dan batuk akibat lingkungan yang lembap dan dingin.
Banjir kali ini bukanlah kejadian pertama. Dalam lima tahun terakhir, kawasan sekitar Sungai Cimanuk terus mengalami siklus bencana serupa. Namun, belum ada terobosan kebijakan yang signifikan dari pemerintah daerah untuk menuntaskan persoalan mendasar yang menjadi penyebab utama banjir.
Dengan situasi yang semakin genting, tekanan publik terhadap Pemkab Garut, Dinas Lingkungan Hidup, dan instansi teknis lainnya akan semakin meningkat. Masyarakat berharap suara-suara kritis seperti yang disampaikan LIBAS tidak kembali tenggelam dalam rutinitas birokrasi yang lamban dan tidak responsif.
Kini, semua mata tertuju pada langkah nyata yang akan diambil oleh para pengambil kebijakan. Apakah mereka akan kembali mengabaikan sinyal bahaya ini, ataukah mau mendengar jeritan rakyat dan mulai membangun sistem mitigasi bencana yang berpihak kepada kehidupan dan masa depan? Hanya waktu yang akan menjawabnya. (A1)